Kamis, 09 Desember 2010

URGENSI PERGANTIAN KURIKULUM


Sebelum dibahas seberapa uergenkah pergantian kurikulum, perlu diketajui terlebih dahulu apa iyu kurikulum. J.Wiles dan J. Bondi menyebutkan “…The curriculum is a goal or a set of values, which are activated through a development for students. The degree to which those experiences are a true representation of the envisioned goal or goals is a direct function of the effectiveness of the curriculum development efforts. (Kurikulum ialah seperangkat nilai-nilai, yang digerakkan melalui suatu pengembangan proses kulminasi dalam pengalaman-pengalaman di kelas untuk murid-murid. Tingkat terhadap pengalaman tersebut merupakan suatu representasi yang benar terhadap cita-cita yang diimpikan ialah suatu fungsi langsung daripada efektivitas dari usaha-usaha pengembangan kurikulum)

Salah satu yang sering dikeluhkan saat ini oleh masyarakat dunia usaha selaku konsumen utama dunia usaha adalah ketidaksiapan lulusan dunia pendidikan untuk bersaing memasuki dunia kerja. Karena pendidikan di Indonesia masih banyak yang terpaku pada teori, banyak perbedaan yang muncul yang akan ditemui ketika berada di dunia usaha, bahkan termasuk dunia pendidikan itu sendiri sebagai konsumen alumni pendidikan keguruan.

Perubahan yang sangat cepat di bidang social, ekonomi, budaya, dan teknologi, telah membuat dunia pendidikan semakin tertinggal jauh di belakang. Pemerintah selaku penanggung jawab utama dunia pendidikan di Indonesia sepertinya menggunakan perubahan kurikulum sebagai alat untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Ironisnya, perubahan kurikulum tersebut menjadi tidak ada artinya ketika dunia pendidikan itu sendiri sebenarnya belum siapa dengan perubahan tersebut. Menjadi lebih ironis lagi apabila tenyata perubahan yang ada ternyata tidak mempercepat langkah untuk mengejar ketertinggalan, tetapi hanya berputar di tempat yang malah menghabiskan energi saja.

Untuk melakukan perbaikan system pendidikan jangka panjang, perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap kurikulum untuk meningkatkan relevansi antar proses pembelajaran dan tujuan pembelajaran, sehingga para lulusan sekolah benar-benar mempunyai kualifikasi yang diharapkan dan kreatif sehingga tidak hanya menjadi pencari kerja, serta tanggap terhadap perubahan yang sangat cepat di bidang social, ekonomi, budaya, dan teknologi sehingga mampu menjadi pembuat peluang kerja.

Seberapa pentingkah perubahan kurikulum di Indonesia???

Jawaban dari pertanyaan di atas bukan sekedar penting atau tidak penting, tetapi bagaimana perubahan yang diperlukan dan tidak diperlukan bias diurai terlebih dahulu dengan jernih. Tidak semua perubahan dibutuhkan oleh dunia pendidikan, palig tidak untuk jangka waktu tertentu, karena ada beberapa hal yang tidak akan berubah dalam sekejap mata, seperti sejarah, matematika, etika, dan lain-lain. Sejarah adalah yang terjadi di masa lalu, dan hanya perisiwa yang pantas dikenang saja yang patut dipelajari dalam sejarah, oleh karena itu adalah tidak mungkin jika materi pendidikan sejarah harus berubah dalam jangka waktu 5 atau 10 tahun. Begitu juga dengan subjek ajar yang lain. Bahkan jika ada perubahan, hal tersebut belum tentu cukup untuk menjadi alasan untuk mengadakan perubahan kurikulum.

Memang ilmu pengetahuan selalu berkembang, kejadian yang fenomenal dan mengguncangkan dunia juga selalu muncul, penemuan-penemuan baru selalu ada, tetapi hal tersebut tidaklah langsung menafikan hal-hal atau pengetahuan lama. Ketika muncul sesuatu yang baru, bukan berari yang lama adalah tidak benar atau tidak berguna sama sekali, sehingga perlu dicoret dari buku. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah kurikulum yang mampu mempersiapkan peserta didik agar mereka siap menghadapi perubahan ketika mereka menyelesaikan pendidikannya dan mereka juga memiliki pengetahuan yang layak untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya atau ketika memasuki dunia kerja atau mampu membuat anak siap menghadapi kenyataan ketika ternyata tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Ada semacam euphoria di sekolah tertentu ata di kalangan pejabat pendidikan, jika ada perubahan kurikulum atau kebijakan baru jika mereka “mampu” mengikutinya, seolah-olah sudah hebat jika langsung mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan, padahal sebenarnya belum mampu. Ketika KBK diluncurkan, banyak pejabat pendidikan di daerah dan sekolah yang menerapkannya, padahl sebenarnya belum siap, tetapi mengaku siap. Padahal sebenarnya yang menerapkan KBK seharusnya hanya sekolah-sekolah yag menjadi piloting project saja. Akibatnya, ketika KBK tidak jadi disahkan, dan diganti dengamn KTSP, maka menjadi sia-sialah semua usaha penerapan KBK yang sudah terlanjut dipaksakan, dan sekolah-sekolah pun harus kembali ribut untuk mempersiapkan diri menyambut KTSP (http://zulkarnaindiran.wordpress.com).

Akan tetapi, kurikulum yang bagus dan mampu mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi perubahan, jika memang kita mempunyai, akan menjadi tidak artinya jika ternyata para pengajarnya ternyata juga belum memahami kurikulum tersebut dan “enggan” untuk menghadapi perubahan yang ada.

Ada dua tipe pengajar yang “enggan” untuk menghadapi perubahan. Pertama, mereka yang benar-benar enggan menerima kenyataan bahwa telah terjadi perubahan fenomena dan bahwa ilmu pengetahuna itu terus berkembang, tidak statis. Mereka percaya bahwa pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki sudah lebih dari cukup, sehingga menurut mereka, pengetahuan dan pengalaman baru yang berasal dari sumber informasi yang laik tidak penting untuk dipelajari peserta didik. Dengan kata lain, mereka termasuk orang yang tidak mau belajar atau mempunyai penyakit “kecongkakan” ilmiah, karena mereka memaksakan pengetahuan mereka kepada orang tanpa mau memasukkan pengetahuan baru dari orang lain.

Satu contoh dari tipe ini, adalah kisah nyata yang terjadi beberapa tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku SMP. Seorang guru di kelas mengatakan, dan memang di buku paket adalah demikian juga dikatakan bahwa Turki adalah negara Asia Barat. Beberapa teman yang suka sepakbola tahu bahwa Turki merupakan salah satu peserta liga sepakbola di eropa, bukan asia lantas meminta saya untuk menyampaikan hal tersebut kepada guru. Ternyata guru tersebut menyalahkan kami karena yang kami utarakan bertentangan dengan buku pegangan. Beliau bersikukuh bahwa Turki adalah negara Asia. Memang kalau mau dilihat di peta, secara geografis sebagian besar wilayah Turki terletak di asia, akan tetapi sebagian wilyahnya adalah terletak eropa adalah suatu fakta, bahkan kota istambul (sebelumnya bernama Constantinople, ibukota kerajaan Byzantium atau Romawi Timur) terletak di perbatasan ( secara geografis) benua asia dan eropa.

Factor selain unsur geografi juga harus diperhatikan, karena ternyata Turki lebih banyak merasa sebagai bagian dari Eropa daripada Asia. Turki dahulu merupakan Negara yang pernah dijuluki sebagai The Sick Man of Europe, Turki juga berusaha agar diterima sebagai anggota European Union (persekutuan negara-negara Eropa), bahkan Turki juga merupakan anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization: Pakta Pertahanan Atlantik Utara, suatu pakta pertahanan negara-negara barat). Jadi, unsur geografis menjadi kurang berarti apabila kita membandingkannya dengan unsur-unsur yang lain seperti di atas, terlebih lagi dalam dunia yang semakin mengglobal dengan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini, sekat-sekat geografis menjadi tidak berarti karena tingginya tingkat interaksi antar negara (global village). Hal tersebutlah yang semestinya diperhatikan guru kami selaku seorang pengajar. Dan saya sendiri yakin bahwa masih banyak orang yang memiliki paradigma yang sama seperti ini, enggan menganalisa suatu informasi meskipun dengan sederhana dan mempercayakan sepenuhnya semua informasi dari buku yang digunakan sebagai buku pegangan. Perkembangan informasi memang sesuatu yang layak dikuti oleh para pengajar di era informasi teknologi seperti sekarang ini.

Tipe kedua adalah mereka yang enggan karena tidak mampu untuk mengikuti cepatnya perputaran dunia informasi dan pengetahuan. Ada beberapa hal yang apat menyebabkan seseorang tidak mampu mengikuti perkembangan informasi, seperti usia, dan keterbatasan akses. Pengajar yang tinggal di kota akan lebih mudah berdaptasi dengan perubahan karena mereka memiliki akses informasi daripada pengajar yang berada di daerah. Memang masyarakat yang tinggal di kota memiliki kelebihan di bidang akses terhadap informasi, mengingat memang sebagian besar sumber informasi, pusat perputaran ekonomi, dan pusat pemerintahan memang terletak di wilayah perkotaan, meskipun dengan resiko mereka pulalah yang akan pertama kali mengahadapi segala macam bentuk perubahan social, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, dan sisi-sisi kehidupan yang lain. Beberapa teman kuliah yang sudah kembali ke kampung halaman dan kebetulan daerahnya berada di pedalaman, merasa terasing karena kehilangan banyak informasi, terutama karena keterbatasan akses internet di daerahnya. Bahkan banyak guru di daerah yang masih merasa asing dengan computer, seakan-akan computer adalah benda dari planet lain yang belum dikenal. Yang lebih lucu lagi, karena saking asingnya, “menyentuh keypad”nya saja takut, apalagi untuk membuka dan memanfaatkan beragam program yang ada. Guru yang sudah akrab dengan komputer pun belum dapat memaksimalkan penggunaannya, sebatas untuk mengumpulkan dan mengolah (baca:mengetik) nilai dan laporan saja, bukan untuk membuat suatu kresai yang akan mengembangkan skill-nya. Tidak heran apabila banyak guru yang meskipun masih terhitung masih muda tetapi belum tahu apa itu e-mail dan bagaimana cara menggunakannya, apalagi jejaring pertemanan seperti facebook, friendster, twitter dan lain-lain, padahal di perkotaan, jejaring seperti facebook saja sudah diikuti oleh anak kelas 2 SD.

Begitu juga dengan pengajar yang masih muda, akan lebih mudah untuk menghadapi perubahan daripada pengajar yang sudah berusia lanjut dan memiliki keterbatasan fisik. Ada kisah nyata, ada seorang kandidat doctor menggunakan jasa pengetikan di rental untuk menyelesaikan disertasinya, termasuk jika melakukan revisi setelah konsultasi karena doctor tersebut masih asing dengan computer (gaptek). Hal tersebut menunjukkan bagaimana hilangnya efektifitas dan efisiensi hanya gara-gara ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan. Apabila ada kandidat doctor yang belum siap dengan untuk menghadapi perubahan, lalu bagaimana dengan para guru yang notabene jenjang pendidikannya masih di bawah kandidat doctor.

Dalam suatu pelatihan bagi guru-guru, seorang penatar mengeluhkan bagaimana para guru, terutama yang sudah berumur, tertinggal dengan para murid-muridnya sendiri, padahal mereka masih duduk di bangku SD. Di jaman yang serba online seperti ini, anak-anak SD di perkotaan sudah terbiasa bermain game online dan facebook-an, sedang gurunya saja mengoperasikan computer saja masih grogi, apalagi berselancar di dunia maya. Terlepas dari baik-buruknya bermain game online atau facebook bagi anak-anak, tetapi hal ini secara tidak langsung telah memperlihatkan bahwa proses perubahan atau perkembangan fenomena sosial ternyata berbeda dengan proses pendidikan.

Pengajaran di lembaga sekolah formal, baik itu SD, SMP, SMA, atau bahkan perguruan tinggi ternyata belum cukup untuk disebut sebagai proses pendidikan yang seutuhnya, karena manusia yang berkualitas memang bukan orang mampu bersikap ilmiah di dunia pendidikan, tetapi tetapi mampu bersikap di tengah-tengah masyarakat umum yang biasanya seringkali bertindak ilmiah, dan adalah fakta informasi dan pengetahuan umum bisa didapatkan dari tempat manapun dan oleh siapapun, meski tanpa bersentuhan dengan jalur pendidikan formal secara langsung, karena banyak tokoh besar diberbagai bidang atau pengusaha yang sukses tetapi mereka tidak sukses di bidang pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar